Selasa, 22 Mei 2012

Alat Musik Tradisional Di Aceh


Sebagai bagian dari masyarakat Aceh , kita harus mengetahui sejarah termasuk alat-alat musik yang ada di Aceh yang sudah ada sejak dari jaman Kerajaan Jeumpa Aceh, Kerajaan Aceh Darussalam hingga jaman Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam . Adapun sampai saat ini alat musik yang sudah diketahui yang berlaku dalam masyarakat Aceh dari zaman endatu sampai sekarang ada 10 macam :

Arbab
Instrumen ini terdiri dari 2 bagian yaitu Arbabnya sendiri (instrumen induknya) dan penggeseknya (stryk stock) dalam bahasa daerah disebut : Go Arab. Instrumen ini memakai bahan : tempurung kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai.
Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Arbab ini dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb. Sekarang ini tidak pernah dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir kesenian ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan Jepang. 

Bangsi Alas
Bangsi Alas adalah sejenis isntrumen tiup dari bambu yang dijumpai di daerah Alas, Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan adanya orang meninggal dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia, Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya. Ada juga Bangsi kepunyaan orang kaya yang sering dibungkus dengan perak atau suasa.

Serune Kalee (Serunai)
Serune Kalee merupakan isntrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.
Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.

Rapai 
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.
Rapai ini banyak jenisnya : Rapai Pasee (Rapai gantung), Rapai Daboih, Rapai Geurimpheng (rapai macam), Rapai Pulot dan Rapai Anak.

Geundrang (Gendang)
Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di daerah pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.

Tambo
Sejenis tambur yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh (batang iboh), kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung. Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.

Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2 jenis :
Yang dipergunakan di Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan ditempat-tempat lain yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini.
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).

Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh pada masa silam dijumpai didaerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan terdapat juga dibeberapa tempat di Aceh. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyakanya nada yang yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya.
Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.

Canang
Perkataan Canang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dari beberapa alat kesenian tradisional Aceh, Canang secara sepintas lalu ditafsirkan sebagai alat musik yang dipukul, terbuat dari kuningan menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik Canang dan memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda.
Fungsi Canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional serta Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.

Celempong
Celempong adalah alat kesenian tradisional yang terdapat di daerah Kabupaten Tamiang. Alat ini terdiri dari beberapa potongan kayu dan cara memainkannya disusun diantara kedua kaki pemainnya.
Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis-gadis, tapi sekarang hanya orang tua (wanita) saja yang dapat memainkannnya dengan sempurna. Celempong juga digunakan sebagai iringan tari Inai. Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di daerah Tamiang.

Sumber:

Selasa, 15 Mei 2012


Nanggroe Aceh Darussalam
Nanggroe Aceh Darussalam memiliki berbagai macam makanan khas,diantaranya:

Ayam Tangkap

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEig-dxz8EKjPLmTrhd4QJgf_mKEbBND_2sqgVycRHYdC2eMnK5WuKB4kEla03JWfGZACak1l0FcbMlQcsYpsplc-mHax8ZRnqmjECuQyrz7r-3Bc0-f1cA0Gnt0aKh3MTm7T0O2gainQ378/s320/Ayam-Tangkap-Aceh.jpg
Sekilas ayam tangkap ini seperti makananan yang di penuhi oleh sampah dedaunan karena mulai dari segala macam daun ada didalamnya, akan tetapi racikan bumbu ayam goreng yang satu ini bisa bikin ketagihan.
Daun temurui yang dicampur bersama dengan olahan daging ayam ini bikin rasanya jadi semakin enak. Disantap dengan sambal ganja yang pedas-pedas asam segar pasti bikin makan siangkali ini lebih istimewa.
Potongan daging ayam kampung yang sudah dibumbui dan digoreng menebarkan aroma harum yang lezat.Aroma harum ini bersal dari daun-daunan yang dicampurkan ke dalam ayam tangkap. Daun-daun seperti daun kari atau temurui, daun pandan, daun jeruk dan juga daun serai yang sudah di rajang kasar digoreng hingga kering.
Menyantap ayam tangkap khas Aceh ini paling pas dengan sambal ganja. Yak, sambal yang terbuat dari campuran belimbing sayur, cabai rawit, bawang merah, yang diuleg halus memang bisa bikin ketagihan layaknya ganja.

Dalca
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEih4CeKe91us3OU0ZRFMFtlJSPAp5Gt5rfJlA5WQlHmtZGFJGQUBYlHI_OFH1oErHqujPBr9TXp6UcRgB8dqnPYH32-hFSMVLAqVJAzYBpXoc_-unKRrw69_FUwDtgd-J4IUH1eVWD4bWhJ/s320/Dalca+%25281%2529.jpg
Hidangan utama yang dibuat dengan menggunakan rempah-rempah yang beraroma tajam seperti cengkeh, kayu manis, pekak, kapulaga ini merupakan ciri khas pengolahan masakan aceh. Masakan berwarna coklat kemerahan diperolah dari perpaduan rempah-rempah dan penggunaan cabe merah segar.

Mie Aceh

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEih-3BG8Twfn87oRL3p-Tnp0GNH-ORYlExksdPS2Kd6ErArfXoWfp3aTxMIQ3hp1BK2Aq2llWg2EnSH0UudOosu_uX27MJSNCc0WOphDLSStuv076d-ZNuwohOQydbc8KjiuZbCZUcMWvCn/s320/mie-kepiting-2.jpg

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcASMUypmZVNNfIwpa72VgCXzx4rxv9lFJLGaJrWPe6S15jBxtmdAv67LaIvKCGLx63isdMN0Y_7xaF0qpuGfQhjuH7id2m9JepF8gp2VPQs6KahQm4xq-k-iUcoj2l7xLLopK6KSkDw92/s320/mie-aceh-kepiting.jpg
Mie Aceh adalah masakan mie pedas khas Aceh di Indonesia. Mie kuning tebal dengan irisan daging sapi, daging kambing atau makanan laut (udang dan cumi) disajikan dalam sup sejenis kari yang gurih dan pedas. Mie Aceh tersedia dalam dua jenis, Mie Aceh Goreng (digoreng dan kering) dan Mie Aceh Kuah (sup). Biasanya ditaburi bawang goreng dan disajikan bersama emping, potongan bawang merah, mentimun, dan jeruk nipis.
Kanji Rumbi
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGyavE6DhoG83vd077N3LnJf4CYnCp-WJW0_y2MEFc-7ztRhyphenhyphenI8dQ_IeQg8BHYyP6n_eijq39AZlAo6E339Vv91EA4kvVVbm_9qmzxwcvRZO_MWAch6OoQuCSWN_2EkD_pjQ69_EgIIyvt/s320/Bubur+Kanji+Rumbi.jpg
Bubur kanji rumbi adalah salah satu masakan khas Aceh yang sering ditemukan pada bulan Ramadhan. Bahan dasarnya beras dan dicampur dengan bawang pree, daun sop, daging ayam, udang, wortel, dan kentang.Untuk menambah masakan ada juga warga manambah menu lainnya diluar menu yang ada, berupa daun pegaga dengan campuran daun berkhasiat lainnya yang mengandung vitamin, tentunya penambahan daun pegaga juga sangat baik untuk kesehatan.Biasanya bubur ini dimasak dalam satu kuali besar dan dimakan bersama-sama warga sekitar untuk berbuka puasa.


Kue Timpan


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPV6g5ZFv3r3Klv4OnSOHZ93BXPCGkM-zbxT8fonm3BOwSWIuch96oYLvYHRyaSVUt4nAbI6jAk095t92SmQ_PVJ2vve71kJJ2Q0vRpwemOGEh6KlHD4nS046SrM-Mu6H8SKsj54m6egDh/s320/kue-timphan-khas-aceh_jokjaicon.jpg
Timpan adalah sejenis makanan kecil yang aslinya berasal dari Aceh. Bahan untuk membuat timpan terbuat dari tepung, pisang, dan santan. Semua bahan ini kemudian diaduk-aduk sampai kenyal. Lalu dibuat memanjang dan di dalamnya diisi dengan srikaya. Kemudian setelah itu adonan dengan isi ini dibungkus dengan daun pisang dan dikukus (rebus tanpa direndam air).
Sumber: http://wwwamar-nemars.blogspot.com/2011/12/makanan-khas-aceh.html

Selasa, 08 Mei 2012

Kota Banda Aceh


Sejarah
Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam

Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah, Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura Dari penemuan batu-batu nisan di Kampung Pande salah satu dari batu nisan tersebut terdapat batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah, maka terungkaplah keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada hari Jum'at, tanggal 1 Ramadhan 601 H ( 22 April 1205 M) yang dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah Lam Urik sekarang terletak di Aceh Besar. Menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama "Kandang Aceh". Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H.

Banda Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dan sekarang ini merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah berusia 806 tahun (tahun 2011 M) merupakan salah satu Kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Seiring dengan perkembangan zaman Kerajaan Aceh Darussalam dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami zaman gemilang dan pernah pula mengalami masa-masa suram yang menggentirkan.

Adapun Masa gemilang Kerajaan Aceh Darussalam yaitu pada masa pemerintahan "Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah, Sultan Alaidin Abdul Qahhar (Al Qahhar), Sultan Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin".

Sedangkan masa percobaan berat, pada masa Pemerintahan Ratu yaitu ketika golongan oposisi "Kaum Wujudiyah" menjadi kalap karena berusaha merebut kekuasaan menjadi gagal, maka mereka bertindak liar dengan membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Mesjid DJami Baiturrahman dan bangunan-bangunan lainnya dalam wilayah kota.

Kemudian Banda Aceh Darussalam menderita penghancuran pada waktu pecah "Perang Saudara" antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.

Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam pada saat terjadi Perang Dijalan Allah selama 70 tahun yang dilakukan oleh Sultan dan Rakyat Aceh sebagai jawaban atas "ultimatum" Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Dan yang lebih luka lagi setelah Banda Aceh Darussalam menjadi puing dan diatas puing Kota Islam yang tertua di Nusantara ini Belanda mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal Belanda dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam.

Sejak itu ibukota Banda Aceh Darussalam diganti namanya oleh Gubernur Van Swieten ketika penyerangan Agresi ke-2 Belanda pada Kerajaan Aceh Darussalam tanggal 24 Januari 1874 setelah berhasil menduduki Istana/Keraton yang telah menjadi puing-puing dengan sebuah proklamasinya yang berbunyi :

Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kutaraja, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874, semenjak saat itu resmilah Banda Aceh Darussalam dikebumikan dan diatas pusaranya ditegaskan Kutaraja sebagai lambang dari Kolonialisme.

Pergantian nama ini banyak terjadi pertentangan di kalangan para tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas dan mereka beranggapan bahwa Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.

Awal Penetapan Kota Banda Aceh

Setelah 89 tahun nama Banda Aceh Darussalam telah dikubur dan Kutaraja dihidupkan, maka pada tahun 1963 Banda Aceh dihidupkan kembali, hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Dan semenjak tanggal tersebut resmilah Banda Aceh menjadi nama ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam bukan lagi Kutaraja hingga saat ini.

Sejarah duka kota Banda Aceh yang masih segar dalam ingatan adalah terjadinya bencana gempa dan tsunami pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 jam 7.58.53 telah menghancurkan sepertiga wilayah Kota Banda Aceh. Ratusan ribu jiwa penduduk menjadi korban bersama dengan harta bendanya menambah kegetiran warga Kota Banda Aceh. Bencana gempa dan tsunami ini dengan kekuatan 8,9 SR tercatat sebagai peristiwa terbesar sejarah dunia dalam masa dua abad terakhir ini.

Kini Kota Banda Aceh telah mulai pulih kembali, kedamaian telah menjelma setelah perjanjian damai di Helsinki antara pemerintah RI dan GAM seiring dengan proses rehabilitasi dan rekontruksi Kota Banda Aceh yang sedang dilaksanakan. Membangun kembali Kota Banda Aceh ke depan selain dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh dan Nias (BRR) serta bantuan dari badan-badan dunia dan berbagai Negara Donor bersama NGO, Pemerintah Kota Banda Aceh telah menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang disepakati bersama DPRD Kota Banda Aceh yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kota Banda Aceh tahun 2005-2009, selanjutnya dituangkan dalam program kegiatan tahunan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Banda Aceh .Dengan kedamaian yang telah diraih ini dan melalui proses rehabilitasi dan reknstruksi, Banda Aceh mulai bangkit kembali, cahaya terang membawa harapan untuk meraih cita-cita bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Data Geografis
Wilayah Kota Banda Aceh terletak di ujung Pulau Sumatera yang mana salah satu dari 5 Kota/Kotamadya yang terdapat dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan merupakan Ibu Kota Provinsi, memiliki tinggi daratan rata-rata 0,80 meter dari permukaan laut terletak antara 05° 16’ 15’ - 05° 36’ 16” Lintang Utara dan 95° 16’ 15”- 95° 22’ 35” Bujur Timur . Letak wilayah yang strategis yang berhadapan dengan Selat Malaka merupakan potensi besar sebagai sumber daya alam baik Flaura-fauna, Pariwisata, Pelabuhan Penyeberangan dan perikanan untuk peningkatan Perekonomian masyarakat Kota Banda Aceh yang dulu bernama Kutaraja.

Objek Wisata
Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh 
Masjid ini merupakan saksi bisu sejarah Aceh, terletak di pusat kota Banda Aceh dan merupakan kebanggaan masyarakat Aceh. Masjid Raya Baiturrahman adalah simbol religius, keberanian dan nasionalisme rakyat Aceh. Masjid ini dibangun pada masa Sultan  Iskandar Muda (1607-1636), dan merupakan pusat pendidikan ilmu agama di  Nusantara. Pada saat itu banyak pelajar dari Nusantara, bahkan dari Arab,  Turki, India, dan Parsi yang datang ke Aceh untuk menuntut ilmu agama. Mesjid ini  merupakan markas pertahanan rakyat Aceh ketika berperang dengan Belanda  (1873-1904). Pada saat terjadi Perang Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar  habis oleh tentara Belanda. Pada saat itu, Mayjen Khohler tewas tertembak di  dahi oleh pasukan Aceh di pekarangan Masjid Raya. Untuk mengenang peristiwa  tersebut, dibangun sebuah monumen kecil di depan sebelah kiri Masjid Raya,  tepatnya di bawah pohon ketapang. Enam tahun kemudian, untuk meredam kemarahan  rakyat Aceh, pihak Belanda melalui Gubernur Jenderal Van Lansnerge membangun  kembali Masjid Raya ini dengan peletakan batu pertamanya pada tahun 1879. Hingga  saat ini Masjid Raya telah mengalami lima kali renovasi dan perluasan  (1879-1993).
Mesjid ini merupakan salah satu Mesjid yang terindah di Indonesia yang memiliki tujuh kubah, empat menara dan satu  menara induk. Ruangan dalam berlantai marmer buatan Italia, luasnya mencapai  4.760 m2 dan terasa sangat sejuk apabila berada di dalam ruangan Mesjid. Mesjid ini  dapat menampung hingga 9.000 jama‘ah. Di halaman depan masjid  terdapat sebuah kolam besar, rerumputan yang tertata rapi dengan tanaman hias  dan pohon kelapa yang tumbuh di atasnya.
Alat Musik
SERUNE KALEE

Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise.

Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tem­baga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai penga­manan dari kemungkinan retak/pecah badan serune terse­but. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.

GENDANG (GEUNDRANG)

Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gen­dang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-­sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara iainnya.

Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gen­dangnya.

Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.

RAPAI

Rapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisio­nal Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak).

Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upa­cara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagama­an, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara me­mukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah.
Tarian
TARI RANUP LAMPUAN

Tari Ranup Lampuan adalah salah satu tarian tradisional Aceh yang ditarikan oleh para wanita. Tarian ini biasanya ditarikan untuk penghormatan dan penyambutan tamu secara resmi. Ranup dalam bahasa Aceh yaitu Sirih, sedangkan Puan yaitu Tempat sirih khas Aceh. Ranup Lampuan bisa diartikan "Sirih dalam Puan". Sirih ini nantinya akan diberikan kepada para tamu sebagai tanda penghormatan atas kedatangannya.

TARI LIKO PULO

Tarian Likok Pulo ini lahir sekitar tahun 1949 yang diciptakan oleh seorang Ulama berasal dari Arab yang tinggal di Pulo Aceh, yaitu salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar. Tarian ini pada hakekatnya adalah zikir kepada Allah SWT dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Gerakan tarian pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman atau kesetaraan dengan memfungsikan anggota tubuh bagian atas, tangan sama-sama ke depan, ke samping kiri atau kanan, dari depan ke belakang, keatas dan kebawah, dengan tempo yang lambat hingga cepat. Tarian ini membutuhkan energi yang tinggi.

TARI TAREK PUKAT

Tarek Pukat ini menggambarkan aktifitas para nelayan yang menangkap ikan dilaut. Tarek yang berarti "Tarik", dan Pukat adalah alat sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap ikan.

TARI RAPA`I GELENG

Rapa`i Geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan. Nama Rapa`i diadopsi dari nama Syeik Ripa`i yaitu orang pertama yang mengembangkan alat musik pukul ini. Permainan Rapa`i Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat. Tarian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan. Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial.

TARI SAMAN

Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh ataupun Gayo. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya ditampilkan untuk merayakan peristiwa - peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada kenyataannya nama "Saman" diperoleh dari salah satu ulama besar Aceh, Syech Saman.

Tari Saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini khususnya ditarikan oleh para pria.

TARI LAWEUT

Sebelum sebutan Laweut dipakai, tarian ini mulanya disebut "Seudati Inong", karena tarian ini khusus ditarikan oleh para wanita. Gerak tarian ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.

TARI PHO

Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari rakyat.hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.

TARI SEUDATI

Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan retoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.

Sumber:
http://www.bandaacehkota.go.id/


Selasa, 01 Mei 2012

Kabupaten Kota Bener Meriah


Luas wilayah kabupaten ini adalah sebesar 1.454 km 2. Kabupaten ini terdiri dari: 7 kecamatan, 14 mukim, dan 115 desa.
Daerah ini sangat potensial di bidang perkebunan kopi. Hal ini dibuktikan dengan luas lahan perkebunan kopi di daerah ini seluas 28.068,45 Ha dengan jumlah produksi sebanyak 13.287,30 ton. Selanjutnya, potensi yang sudah dikembangkan di daerah ini adalah perkebunan kemiri, kakao, dan lada. Kabupaten Bener Meriah ditinjau dari zona wilayahnya dan dibagi atas dua zona dengan kesuburan tanah yang merata hampir disetiap kecamatan. Alam Kabupaten Bener Meriah dikategorikan sangat subur dengan jenis tanah podjolik yang sangat baik untuk tempat pengembangan tanaman pertanian.
Pariwisata Wisata Alam/Sejarah Kolam Pemancingan Air Panas, Air Terjun Bidin, Lut Kucak, Makam Datu Beru, tugu Radio Rimba Raya
Wisata Gunung Hiking Gunung Burni Telong, Hiking Gunung Geuredong
Bener Meriah, karena kondisi alamnya yang subur, menjadi pusat penghasil komoditas pertanian yang sangat baik, terutama untuk tanaman holtikultura seperti Cabai dan Tomat. Selain itu Bener Meriah dikenal juga sebagai penghasil kopi Arabika terbesar di Aceh. Jangkauan pemasarannya bukan saja didalam wilayah Aceh dan Indonesia,tetapi sudah menjangkau banyak negara termasuk Amerika Serikat. Namun sayangnya semua komoditas yang dihasilkan masih dijual dan diperdagangkan dalam bentuk raw. Sehingga industri pemerosesan menjadi pilihan usaha menarik di Bener Meriah.

 
Sumber: 
http://acehfair.acehprov.go.id/potensi-aceh/kab-benermeriah/

 http://acehfair.acehprov.go.id/media/cache/images/uploads/aceh_tenggara_4_slider.jpg